Oleh : Jaswo, S.Pd.I
(Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Kelas A)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Etika atau akhlak merupakan
bagian dari agama Islam, sebagaimana kedudukan Al-Qur’an sebagai referensi
paling penting tentang etika bagi umat Islam baik secara individu maupun
kelompok. Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan
kemanusiaan serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Etika merupakan
alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa etika,
masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan binatang.
Apabila seseorang
memiliki aqidah yang benar dan kokoh, serta akhlak (etika) yang baik, maka ia
akan dengan mudah melaksanakan syari’at Islam secara konsisten, demikian pula
dalam melaksanakan aturan-aturan yang telah ditentukan.
Akhlak merupakan
perilaku manusia yang nampak maupun yang tidak nampak seperti kegiatan hati.
Akhlak bukanlah sebatas sopan santun kepada sesama manusia tetapi lebih luas
lagi, yakni meliputi hubungan dengan Allah (Hablum minallah), dan hubungan
dengan sesama manusia (Hablum minannas), bahkan hubungan dengan alam
sekitar (Hablum minal ‘alam).
Objek bahasan
akhlak dengan syari’at Islam adalah sama, yang berbeda hanyalah sudut
pandangnya. Contoh, Shalat. Dari perspektif syari’at Islam fiqih, shalat
dipandang sebagai kegiatan ibadah mahdloh dengan tatacara tertentu, dari mulai takbiratul
ihram sampai salam. Sedangkan shalat dalam perspektif akhlak adalah taqarrub
kepada Allah, melalui jalan mahabbah (perasaam cinta) bukan sekadar
karena suatu kewajiban.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dan essensi agama Islam ?
2. Apa pengertian,
dasar, dan bentuk-bentuk etika dalam
Islam ?
3. Apa
hubungan antara agama dan etika Islam ?
BAB II
KAJIAN TENTANG AGAMA
DAN ETIKA ISLAM
A. Agama Islam
1. Pengertian Agama Islam
Agama adalah aturan dari Tuhan YME, untuk petunjuk kepada
manusia agar dapat selamat dan sejahtera atau bahagia hidupnya di dunia dan
akherat dengan petunjuk-petunjuk serta pekerjaan nabi-nabi beserta
kitab-kitab-Nya.[1]
Secara etimologi, agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang
artinya tidak kacau, diambil dari dua suku kata “a” berarti tidak dan “gama”
berarti kacau, secara lengkapnya agama ialah peraturan yang mengatur manusia
agar tidak kacau.[2]
Poerwodarminto
memberi batasan tentang agama, yaitu segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa,
dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu.[3]
Menurut
Endang Saifudin Anshari memberikan definisi, bahawa agama, Religi, atau dien (pada
umumnya) adalah suatu sistem credo (tata
keyakinan) atas adanya Yang Mutlak di luar manusia atau sistema Ritus (tata peribadatan) manusia kepada
yang dianggapnya Yang Mutlak itu, serta suatu sistema Norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan keimanan dan tata
peribadatan termaksud.[4]
Menurut
pandangan Islam, agama adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia,
sejak manusia digelarkan di atas muka bumi ini, dan terbina dalam bentuknya
yang terakhir dan sempurna dalam Al Qur’an yang suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni Muhammad Ibn Abdullah, suatu kaidah hidup
yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik
spiritual maupun material.
Agama
yang penulis maksudkan di sini adalah agama Islam, yang secara etimologi Islam
berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata asal salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk
kata aslama yang artinya memelihara
dalam keadaan selamat sentosa dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh,
dan taat.[5]
Kata
Islam ialah nama yang diberikan Allah sendiri, sebagaimana yang tercantum dalam
Al Qur’an surat Ali Imron ayat 19 :
(أل عمران)
Artinya: Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi
Allah hanyalah Islam ... [6]
Menurut Abdurrahman An Nahlawi
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang menuntun kita supaya mengerjakan amal
saleh yang diridloi Allah, menuntut kita supaya mengarahkan segala tingkah
laku, naluri dan kehidupan kita, sehingga dapat merealisasi undang-undang
Illahi secara riil. Islam selalu menggambarkan tujuan dalam tingkah laku praktis,
merealisasi tuntunan tabiat insani dan tuntunan syariat Islam sekaligus.[7]
Din
al-Islam merupakan
tatanan hidup (syari’ah = aturan, jalan hidup) ciptaan Allah untuk
mengatur segenap aktivitas manusia di dunia, baik aktivitas lahir maupun
aktivitas batin. Aturan Allah yang
terkandung dalam al-Islam ini bersifat absolut.
Selanjutnya, aturan Allah dibagi dua, yakni : Pertama, aturan
tentang tata keyakinan disebut Aqidah
(sistema credo). Kedua adalah aturan tentang tata cara
beribadah, yang disebut syari’ah ibadah
(sistema ritus). Ada satu lagi yang disebut Akhlaq, yakni aturan
tentang tatacara menjalin hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia dan
dengan alam sekitar. Akhlaq ini, sebenarnya, adalah syari’ah ibadah juga,
hanya saja dilihatnya dari persepktif layak dan tidaknya suatu perbuatan
dilakukan, bukan sekadar wajib dan
haram. Aqidah, syari;ah dan akhlaq ini dalam terminology lain adalah Imam,
Islam dan Ihsan.[8]
Jadi agama adalah merupakan aturan-aturan atau
perundang-undangan yang datangnya dari Tuhan diturunkan kepada manusia sebagai
pedoman hidup di dunia akherat agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat
kelak.
Agama sebagai refleksi atas cara beragama tidak hanya
terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam
perwujudan-perwujudan tindakan kolektifitas umat, bangunan perubahan.
Perwujudan-perwujudan tersebut keluar sebagai bentuk dari
pengungkapan cara beragama sehingga agama dalam arti umum dapat diuraikan
menjadi beberapa unsur/dimensi religiositas.
Agama yang dianggap sebagai suatu jalan hidup bagi manusia (way
of life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama befungsi untuk
memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan dan hubungan
dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya.
Dengan kata lain, agama pada dasarnya berfungsi sebagai
alat pengatur untuk terwujudnya integritas hidup manusia dalam hubungan dengan
Tuhan dan hubungan dengan alam yang mengitarinya. Agama merupakan firman Tuhan
yang diwahyukan kepada utusannya untuk disampaikan kepada umat.
2. Essensi Agama Islam
Din berasal dari kata dana yadinu dinan
berarti tatanan, sistem atau tatacara hidup. Jadi Din al-Islám berarti tatacara hidup
Islam. Tidak tepat apabila din
diterjemahkan sebagai agama, sebab istilah agama (religion, religie) hanyalah merupakan
alih bahasa saja yang tidak mengandung makna substantif dan essensil. Lebih
dari itu apabila din diterjemahkan
sebagai agama maka maknanya menjadi
sempit. Di Indonesia misalnya, agama
yang diakui hanya ada enam , yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Kunghuchu padahal di Indonesia terdapat
ratusan bahkan mungkin ribuan tatacara hidup.
Dengan memaknai din sebagai tatanan
hidup, maka yang dimaksud dengan
istilah muslim adalah orang yang ber-din
al-Islám, sedangkan istilah kafir adalah orang-orang yang ber-din
ghair al-Islam.
Din al-Islam sebagai tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan, dari mulai masalah ritual sampai kepada masalah mu‘ámalah
termasuk masalah sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, bahkan sampai
kepada masalah kenegaraan. Seseorang yang mengaku muslim atau menganut din
al-Islám harus mengikuti tatanan
hidup Islam secara káffah ;
integratif dan komprehensif apapun resikonya. Apabila ia menolaknya, maka ia pasti akan
terpental di akhirat sebagaimana diterangkan di dalam QS. 3 : 19 dan ayat 85 :
إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ اْلإِسْلاَم (ال عمران : 19 ) وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الْإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِين (ال عمران : 85)
Artinya: Sesungguhnya dân atau tatanan hidup (yang diriÜai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. 3 : 19 ) Barangsiapa
mencari tatanan hidup selain Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (dân
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS.
3 : 85).
Din terbagi dua yang sangat jelas bedanya, yakni din al-haq dan din al-Bathil. Yang
dimaksud dengan din al-haq
ialah din yang berisi aturan Allah yang telah didesain
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
fitrah manusia. Aturan ini kemudian dituangkan di dalam kitab undang-undang Allah,
yakni Al-Qur’an. Sedangkan di luar din al-Islam adalah din yang berisi aturan manusia sebagai produk
akal, hasil angan-angan, imajinasi, hawa nafsu serta merupakan hasil kajian
falsafahnya. Tatanan hidup yang demikian bukan saja tidak bisa
menyelamatkan manusia tapi justeru mencelakakan.
Berdasarkan
pengelompokkan din ini, maka manusia
sebagai pemilih din, otomatis hanya
terbagi menjadi dua kelompok yang
jelas-jelas berbeda (furqán),
yakni kelompok Huda dan kelompok Dhallin (kelompok orang-orang yang tersesat).
Kelompok Hudá
adalah kelompok yang memilih din
Islam sebagai tatanan hidupnya. Ini berarti bahwa mereka telah mengikuti jalan yang haq sehingga Allah akan menghapuskan segala
kesalahannya. Sedangkan kelompok Dhalalah adalah orang-orang yang
memilih din selain Islam. Ini berarti mereka telah
mengikuti aturan yang salah dan telah menjadikan syetan sebagai pimpinan
mereka. Mereka itulah orang-orang yang sesat sebagaimana ditegaskan oleh Allah
di dalam Al-Qur’an surat 7 : 30 dan surat 47 : 1,2,3
فَرِيقًا هَدَى وَفَرِيقًا
حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلاَلَةُ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ (30)
Artinya: Sebahagian diberi-Nya
petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya
mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka
mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.
Dalam pandangan
Al-Qur’an, din al-Islám adalah satu-satunya dân ciptaan Allah, dân
yang satu ini adalah aturan untuk seluruh umat manusia tanpa kecuali. Namun
pada tataran realita sekarang ini Din al-Islam menjadi banyak ragam dan
versinya. Semua ini sebagai akibat kesalahan manusia sendiri.
Sementara itu, din-din
hasil ciptaan manusia berdasarkan akal, imajinasi dan falsafah sebagaimana
telah dikemukakan di atas telah
melahirkan banyak din dan
isme-isme lainnya, antara lain
Materalisme, Kapitalisme, Liberalisme, Markisme, Komunisme, Nasionalisme,
dan Kolonialisme.
Segala macam
aturan hasil manusia tersebut yang termasuk katagori din al-bathil telah terbukti gagal dalam mengatur umat manusia.
Materealisme yang bertitik tolak dari dan berorientasi kepada materi telah melahirkan orang-orang
yang serakah; Kapitalisme yang
menitikberatkan kepada penguasaan kapital (modal) telah melahirkan terjadinya
monopoli; Liberalisme yang
menitikberatkan kebebasan dan menonjolkan hak individu telah melahirkan
terjadinya jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin, serta melahirkan
kecemburuan sosial dan dekadensi moral;
Sedangkan Komunisme telah melahirkan manusia yang tidak mengenal Tuhan dan tidak mengenal hak
milik individu sehingga melahirkan ketidakpuasan. Oleh karena tatanan hidup
produk falsafah manusia itu telah terbukti tidak membawa keselamatan, maka
manusia harus segera hijrah kepada din
al-Islám.
B. Etika Islam
1. Pengertian Etika Islam
Istilah etika
secara etimologi berasal bahasa Yunani ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat.[9]
Dan dari kata Latin : Ethic (us), dalam bahasa Gerik : Ethikos = a
body of moral principles or values. Ethic = arti sebenarnya ialah
kebiasaan, habit, custom. Jadi dalam pengertian aslinya, apa yang disebut baik
itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Lambat laun pengertian etika
itu berubah, seperti pengertian sekarang : Etika ialah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat
dinilai baik dan mana jahat.[10]
Menurut Ah. Amin,
Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia dan di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa
yang seharusnya diperbuat.[11]
Istilah lain dari
etika, biasanya digunakan kata : moral, susila, budi pekerti, akhlak,
sebagaimana dijelaskan oleh Hasbullah Bakri, bahwa etika dalam bahasa Arab
disebut budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi'at.[12]
Menurut Rachmat
Jatnika, kata etika sering disebut (sinonim) dengan kata akhlak dan moral.[13]
Sedangkan menurut Asmaran AS, walaupun etika sering disamakan dengan kata
akhlak dan moral, ketiga istilah tersebut sebenarnya mempunyai perbedaan dan
persamaan. Menurutnya, persamaannya diantaranya terletak pada obyeknya yaitu
ketiganya sama-sama membahas baik-buruk tingkah laku manusia. Sedangkan
perbedaannya terletak pada parameter masing-masing. Akhlak menilai perbuatan
manusia menggunakan parameter agama, sedangkan etika menggunakan pertimbangan
akal pikiran, sementara moral menggunakan adat kebiasaan yang umum di
masyarakat.[14]
Dilihat dari
fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak
adalah sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang
dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Kesemua istilah tersebut
sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman,
damai dan tenteram sehingga sejahtera batiniyah dan lahiriyah. Tetapi ada
perbedaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak, yaitu terletak pada
sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika
penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan
susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak
ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah Al-Qur'an dan
Al-Hadits.[15]
Karena dalam pembahasan
ini adalah etika yang berkaitan dengan tata kerama dalam Islam, maka penulis
lebih condong kepada pengertian etika dalam arti akhlak yang menggunakan ukuran
baik buruk berdasarkan wahyu, yaitu : Al-Qur'an dan Hadits, dan kemudian
berdasarkan Atsarus shahabah dan kemaslahatan umat.
Akhlak berasal
dari bahasa arab, bentuk jama’ dari khuluqun ( خُلُقٌ )
yang menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Adapun pengertian akhlak menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut
Yunahar Ilyas
Akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa
memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan
dorongan dari luar.[16]
b. Menurut
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga
Akhlak adalah tindakan-tindakan seseorang yang dapat
diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk ke
dalam ketegori perbuatan akhlak.[17]
c. Menurut Ibnu Asyif
Menurut Ibnu
Asyif dari buku An-Nihayah sebagaiman dikutip oleh Humaidi Tatapangarsa,
diterangkan lima hakikat makna khuluq itu adalah gambaran batin manusia yang
tepat yaitu (jiwa dan sifat-sifatnya). Sedangkan akhlak menurut gambaran bentuk
luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya dan lain sebagainya).[18]
d. Menurut Ah. Amin
Akhlak adalah
kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaan itu disebut
akhlak.[19]
e. Menurut Al-Ghazali
Menurut Imam
Ghozali yang dikutip kembali oleh HA. Mustafa dalam bukunya Akhlak dan Tasawuf
mengemukakan defenisi akhlak sebagai berikut ;
الخُلُقُ
عِباَرَةٌ عَنْ هَيْئـَةٍ فِى النَّفْسِ راَسِخَةٌ عَنْهاَ تَصْدُرُ الاَفْعاَلُ
بِسُهُوْلَةٍ وَبُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حاَجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَةٍ.
Artinya : Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak
mempertimbangkan pikiran (lebih dahulu).[20]
Dari
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika Islam -yang dikenal
dengan akhlak- adalah perbuatan yang dilakukan sebagai aktualisasi dari Nas
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika
merupakan perbuatan manusia yang dilakukan tanpa dorongan dari luar (orang lain
atau yang lainnya) dan dilakukan dengan penuh nilai baik dan buruk, baik
menyangkut perkataan maupun perbuatan manusia. Sedangkan antara etika, moral
dan akhlak, adalah sama, namun yang menjadi perbedaan adalah etika menggunakan
pertimbangan akal pikiran, moral menggunakan adat kebiasaan yang umum di
masyarakat, dan akhlak dari parameter agama.
2. Dasar Etika dalam Islam
Dasar etika dalam
Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya :
a. Al-Qur'an Surat Al-Qalam ayat 4, yang
menerangkan bahwa Allah telah menjadikan pribadi Rasul sebagai suri tauladan
yang baik, beliau dibekali akhlak yang luhur dan mulia, yang berbunyi :
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ ( القلم : 4 )
Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung
(Al-Qolam: 4).[21]
b. Al-Qur'an Surat Al-Ahzab Ayat 21, yang
meneybutkan bahwa Rasulullah S.A.W. sebagai figur yang yang teladan bagi
umatnya, yang berbunyi :
لَقَدْ كاَنَ لَكُمْ فِى رَسُوْلُ
اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ...( الاخزب :1 )
Artinya : Sesunguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang
baik … [22]
c. Al-Qur'an Surat Shad Ayat 46 :
إِنَّا
أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ(ص: 46)
Artinya : Sesungguhnya
Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang
tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. (QS.
Shad : 46).[23]
d. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori
Muslim dari Abu Hurairah ra. :
إِنَّمـَا بُعِثْتُ لاُ تَمِّـمَ
صَالِحَ الاَخْـلاَقِ [24]
Artinya : Bahwasannya aku diurus oleh Allah untuk menyempurnakan
kebaikan akhlak (budi pekerti).
Dari ayat dan
hadits di atas jelas bahwa dasar etika Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan tujuan akhlak pada pokoknya dalah agar setiap manusia berbudi pekerti
(berakhlak), bertingkah laku (tabiat), berperangai atau beradat istiadat yang
baik sesuai dengan ajaran Islam.
3. Bentuk-Bentuk Etika Islam
Bentuk-bentuk
etika dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari perbedaan manusia dalam segala
seginya, dan dari segi perbuatan manusia.
Bila ditinjau
dari perbuatan manusia, etika dibedakan menjadi dua yaitu akhlak madzmumah
(etika tercela) dan akhlak mahmudah (etika terpuji).
Selanjutnya dalam
pembahasan ini hanya dikaji akhlak mahmudah (etika terpuji) yang
khususnya pada hubungan manusia dengan Allah SWT yang meliputi shalat lima
waktu dan puasa Ramadlan serta hubungan manusia dengan sesamanya yang meliputi
etika terhadap orang tua, etika terhadap guru, etika terhadap teman sebaya dan
etika terhadap masyarakat pada umumnya.
a. Etika terhadap Allah
Etika terhadap
Allah meliputi amal perbuatan yang dilakukan dengan cara berhubungan dengan
Allah, melalui media-media yang telah disediakan Allah, seperti salat, puasa
dan haji.[25]
b. Etika manusia terhadap manusia
Etika terhadap
sesama manusia ini mengarah kepada bergaul dan berbuat baik kepada orang lain[26].
Etika ini meliputi semua hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain,
yang terdiri dari :
1). Etika terhadap orang tua
Orang tua (ayah
dan ibu) adalah sosok yang luhur maka dihadapan anak-anaknya mereka memberikan
kasih sayang kepada putra-putrinya tanpa mengharapkan imbalan apapun, hanya
harapan untuk dikaruniai putra-putri yang shaleh dan shalehah.
Allah S.W.T. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ : 23
وَقَضى
رَبُّكَ اَلاَّ تَعْبـُدُوْ إِلاَّ إِيّاَهُ وَباِلْواَلِدَيْنِ إِحْسـَاناً
إِمّاَ يَبـْلُغَنَّ عِنـْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدَهُماَ أَوْكِلاَهُماَ فَلاَ
تَقُـلْ لَهُماَ أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْ هُماَ وَقُلْ لَّهُماَ قَوْلاً كَرِيْماً
(الاسراء : 23 ).
Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali kamu jangan mengatakan kepadanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan mulia (QS. Al-Isra’: 23).[27]
Dalam ayat
tersebut di atas menjelaskan bahawa perintah berbakti kepada orang tua
ditetapkan pada urutan setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah S.W.T.
yakni perintah untuk tidak berkata kasar kepadanya melainkan harus memepergauli
keduanya dengan tutur kata yang sopan.
2). Etika terhadap guru
Guru adalah orang
tua kedua bagi anak setelah orang tua kandungnya, karena gurulah yang mendidik
anak sebagai lanjutan dari pendidikan yang diterima dalam keluarga, oleh karena
itu seorang murid harus selalu menghormati dan memuliakan gurunya. Sebagaiman penuturan
Azzarnuji sebagai berikut ;
إِعْلَمْ بِاَنَّ طاَلِبَ
الْعِـلْمِ لاَيَنْتَفِـعُ بِهِ إِلاَّ بِتَعْـظِيْمِ وَأَهْـلِهِ وَتَعْـظِيْمِ
الاُسْتـَاذِ وَتَوْقِبْرِهِ [28]
Artinya : Ketahuilah
bahwasannya seorang yang mencari ilmu tidak akan mendapat ilmu dan manfaat
kecuali dengan menghormati dan memuliakan ilmu dan pemikirannya serta
menghormati dan memuliakan gurunya.
3)
Etika terhadap keluarga
Keluarga merupakan sebuah persekutuan antara ibu-bapak
dengan anak-anaknya yang hidup bersama dalam sebuah institusi yang terbentuk
karena ikatan perkawinan yang sah menurut hukum, dimana di dalamnya ada
interaksi (saling berhubungan dan mempengaruhi) antara satu dengan lainnya[29].
Kehidupan dalam keluarga mampu menumbuhkembangkan potensi anak sebagai wahana
menstranfer nilai-nilai dan sebagai agen transformasi kebudayaan. Oleh karena
itu penanaman keimanan dan pembiasaan beribadah kepada Allah yang dimulai dari
kehidupan keluarga amat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti
ajaran Allah yang ditunjukkan dalam Al Qur'an Surat Al An'aam ayat 151 :
قُلْ
تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ
إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (151)
Artinya : Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. Al-An'aam
: 151).[30]
Ayat ini menjelaskan tentang larangan menyekutukan Allah,
perintah memelihara dan mendidik anak-anak mereka, larangan berbuat keji. Hal
ini menunjukkan bahwa pengajaran budi pekerti kepada anak-anaknya tentang
bagaimana membentuk keluarga yang baik dan bagaimana memelihara keturunan
merupakan hal yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu
tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak menikah dan tidak membentuk
keluarga sakinah, karena hal itu merupakan perbuatan yang benar-benar telah
diatur berdasarkan petunjuk Allah.
4)
Etika terhadap tetangga
Tetangga merupakan orang yang berada di sekitar kita dan
hidup bersama berdampingan dengan kita. mereka selalu bersama-sama membentuk
sebuah masyarakat yang baik dan saling menghormati dan menjaga diri dan
keluarga mereka masing-masing sesuai dengan aturan yang telah disepakati
bersama. Allah berfirman dalam Al Qur'an Surat An Nisaa' Ayat 36 :
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا (36)
Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisaa' : 36).[31]
Ayat ini menjelaskan tentang perintah berbuat baik kepada
tetangga baik yang dekat maupun yang jauh. Berbuat baik dapat diterjemahkan sebagai
perilaku yang baik untuk saling menghormati dan saling menghargai karena mereka
harus hidup untuk saling berdampingan satu sama lainnya. Perbuatan yang baik
kepada tetangga akan membuahkan hasil yang baik pula yaitu mendapatkan
perlakuan yang baik diantara mereka dan mendapatkan ketentraman hidup selama
mereka hidup bermasyarakat.
5) Etika terhadap teman sebaya
Manusia adalah
makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Ia tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Oleh karena itu kehadiran teman sangat diperlukan baik
perorangan maupun kelompok. Dalam bahasan ini yang terutama adalah teman sebaya
baik sebaya dari segi usia maupun sebaya dari segi lainnya.
Agar diterima
sebagaimana teman atau sahabat maka setiap orang harus dapat membawa diri,
menjaga perasaan serta mengetahui hak-hak yang harus dipenuhi. Seperti hadits
Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ;
حَقُّ
المُسْلِمِ عَلىَ المُسْلِمِ سِتٌّ : إِذاَ لَقَيْتـَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْـهِ،
وَإِذاَ دَعاَكَ فَاَجِبْـهُ، فَاِذاَ سْتَنْصَحَكَ فاَنْصَحْ لَهُ، وَإِذاَ
عَطَسَ فَحَمِـدَ اللهَ فَشَمِّتْـهُ، وَإِذاَ مَرِضَ فَعُـدْهُ، وَإِذاَ ماَتَ
فاَتْبَعْـهُ (رواه مسلم)
Artinya : Hak orang Islam terhadap orang lainnya ada 6 (enam) apabila
engkau berjumpa dengannya berilah salam kepadanya, apabila mengundangmu
penuhilah undangannya, apabila meminta nasihat padamu nasihatilah dia, apabila
ia bersin lalu memuja Allah S.W.T. maka doakanlah ia olehmu, apabila ia sakit
tengoklah dia dan apabila dia meninggal dunia iringlah dia.[32]
Dalam kehidupan
sehari-hari seorang teman harus senantiasa menjaga dan memenuhi hak-hak yang
lain serta dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat yang dapat diberikan antara
lain dalam bentuk saling membantu atau saling menolong dalam hal-hal yang
dibenarkan oleh agama. Firman Allah S.W.T. dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah Ayat
2 :
وَتَعَاوَنوُاْ
علىَ البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلىَ الاِثْمِ وَالعدواَنِ
(المائدة : 2)
Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan
taqwa dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS.
Al-Maidah : 3).[33]
Demikian Islam
telah meletakkan dasar persatuan di kalangan umat Islam. Dengan dipenuhi
hak-hak teman, saling membantu dan menolong serta menghindari sifat-sifat dan
perbuatan yang menjadi sebab perpecahan maka akan terbina kerukunan dan
kebersamaan antar sesama manusia.
6) Etika terhadap masyarakat pada umumnya
Sebagai mahluk
sosial yang hidup dalam masyarakat maka setiap manusia harus dapat menempatkan
dirinya pada posisi yang tepat sehingga kehadirannya dapat diterima oleh
masyarakat tersebut, karena di dalam masyarakat inilah sesungguhnya hakikat
kehidupan manusia.
Masyarakat
tersusun dari pribadi-pribadi yang beraneka ragam. Agar dapat bergaul dengan
mereka secara baik, menurut pandangan Islam, seorang mu’min adalah saudara bagi
mu’min lainnya. Tidak hanya memandang kaya atau miskin, berpangkat atau jelata,
berkulit putih atau hitam, semuanya adalah saudara sekeyakinan. Sebagaimana
firman Allah S.W.T. dalam Surat Al-Hujarat : 10
إِنَّماَ
المُؤْمِنُـوْنَ إِخْـوَةٌ فَاَصْلِحُـواْ بيَنَ أَخَوَيْكُمْ واَتَّقوُا اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُـوْنَ (الحجـرات
: 10 )
Artinya : Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antar kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat: 10).[34]
C. Hubungan antara Agama dengan Etika Islam
Agama dan etika dalam Islam mempunyai
hubungan yang sangat erat, karena dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak
menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa
hal berikut :
1. Nabi Muhammad SAW diutus
menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan akhlak.
Tugas
nabi yang digariskan dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia untuk
mengikuti dan melaksanakan ajaran-ajaran risalahnya. Karena Risalah yang
diajarkan Nabi Muhammad memberikan informasi tentang faktor-faktor keutamaan
akhlak, lengkap dengan penjelasan aspek-aspeknya.[35]
2. Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah
pernah mendefinisikan agama itu dengan akhlak yang baik.
3. Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan
kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat.
4. Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran
kualitas imannya.
5. Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai
bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT., misalnya: shalat, puasa, zakat
dan haji.
6. Nabi Muhammad SAW selalu berdo’a agar Allah
SWT membaikkan akhlak beliau.
7. Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat
yang berhubungan dengan akhlak.[36]
Ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi saw. banyak mengemukakan akhlak yang diserukan untuk dipraktekkan,
antara lain sabar. Amar ma’ruf dan nahi munkar, adil, kasih sayang, amanah,
ikhlas, jujur, pemaaf dan toleransi. [37]
Pentingnya etika
dalam Islam ini juga dapat dilihat dari keberadaan hukum-hukum Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits dibagi menjadi tiga, yaitu : 1) Al-Ahkam
Al-I’toqdiyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada
Allah, kepada Kitab Allah, kepada Malaikat Allah, kepada Rasul Allah dan hari
akhir. 2) Al-Ahkam al-Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan keutamaan-keutaman yang digunakan oleh manusia untuk menghiasi dirinya,
dan keburukan-keburukan yang harus dijauhi olehnya. 3) Al-Ahkam Al-‘Amaliyah,
yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan pekerjaan orang-orang mukalaf seperti
ibadah, muamalah, jinayat dan lain-lain.[38]
Seanjutnya Abdul
Wahab Khalaf menjelaskan bahwa hukum yang pertama, yaitu Al-Ahkam
Al-I’toqdiyah merupakan asas al-din (dasar agama), yang kedua,
yaitu Al-Ahkam al-Khuluqiyah merupakan mukmil hadza al asas wa
mutammuhu (penyempurna dasar yang pertama, yaitu Al-Ahkam Al-I’toqdiyah),
yang ketiga, Al-Ahkam Al-‘Amaliyah, yang disebut dengan fiqih.[39]
Pada waktu Islam
pertama kali datang di Makkah, orang-orang Makkah tidak diajak bicara kecuali
tentang masalah aqidah dan akhlak, karena penguatan aqidah dan pelurusan akhlak
merupakan dasar yang digunakan sebagai pondasi atas semua pembentukan syari’at dan
peraturan-peraturan yang ada.
Hal ini kiranya
dapat dimaklumi, bahwa berapapun jumlah peraturan yang ada jika tidak dilandasi
dengan aqidah dan akhlak yang baik, maka peraturan tersebut niscaya tidak akan
ada artinya. Betapa banyak undang-undang yang ada di Indonesia, tapi betapa
banyak pula orang yang melanggar dan mengabaikan undang-undang tersebut karena
diantaranya disebabkan lemahnya aqidah dan rusaknya etika dari para pelakunya.
Oleh karena itu,
Islam sangat memperhatikan keberadaan akhlak, bahkan menjadikan akhlak sebagai
penyempurna aqidah -sebagai dasar agama- sebelum diwajibkan hukum amaliyah bagi
umat Islam.
Keberadaan
etika atau akhlak dalam Islam merupakan suatu hal yang sangat penting dan
fundamental dalam Islam, karena dengan etika yang baik manusia akan siap dalam
melaksanakan syari’at, mentaati perintah, dan mentaati peraturan-peraturan yang
wajib ditaati.
Dengan demikian
dapat disimpulkan ada hubungan yang erat antara agama dengan akhlak atau etika
Islam karena akhlak merupakan bagian dari ajaran agama Islam dan sebagai
penyempurna bagi dasar agama Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Agama merupakan aturan-aturan atau
perundang-undangan yang datangnya dari Tuhan diturunkan kepada manusia sebagai
pedoman hidup di dunia akherat agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat
kelak. Agama (Din) terbagi dua yang sangat jelas bedanya, yakni din al-haq dan din al-Bathil. Sedangkan Islam merupakan din al-haq. Dalam pandangan Al-Qur’an, agama
Islam (din al-Islám) adalah
satu-satunya din ciptaan Allah, yang merupakan aturan untuk seluruh
umat manusia tanpa kecuali. Dan sebagai tatanan hidup meliputi
seluruh aspek hidup dan kehidupan, dari mulai masalah ritual sampai kepada
masalah mu‘ámalah termasuk masalah sosial
budaya, sosial ekonomi, sosial politik, bahkan sampai kepada masalah
kenegaraan. Seseorang yang mengaku muslim atau menganut agama Islam harus
mengikuti tatanan hidup Islam secara káffah ; integratif dan
komprehensif apapun resikonya.
2. Etika merupakan perbuatan manusia yang
dilakukan tanpa dorongan dari luar (orang lain atau yang lainnya) dan dilakukan
dengan penuh nilai baik dan buruk, baik menyangkut perkataan maupun perbuatan
manusia. Sedangkan antara etika, moral dan akhlak, adalah sama, namun yang
menjadi perbedaan adalah etika menggunakan pertimbangan akal pikiran, moral
menggunakan adat kebiasaan yang umum di masyarakat, dan akhlak dari parameter
agama. Dasar etika Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan tujuan akhlak
pada pokoknya adalah agar setiap manusia berbudi pekerti (berakhlak),
bertingkah laku (tabiat), berperangai atau beradat istiadat yang baik sesuai
dengan ajaran Islam. Ditinjau dari perbuatan manusia, etika dibedakan menjadi
dua, yaitu akhlak madzmumah (etika tercela) dan akhlak mahmudah
(etika terpuji). Akhlak mahmudah meliputi etika terhadap orang tua, etika
terhadap guru, etika terhadap teman sebaya dan etika terhadap masyarakat pada
umumnya.
3. Hubungan antara agama dan etika Islam
Islam sangat memperhatikan keberadaan akhlak, bahkan menjadikan akhlak
sebagai penyempurna aqidah sebelum diwajibkan hukum amaliyah bagi umat islam. Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak
menempati kedudukan yang sangat penting.
Islam
sangat memperhatikan keberadaan akhlak, bahkan menjadikan akhlak sebagai
penyempurna aqidah -sebagai dasar agama- sebelum diwajibkan hukum amaliyah bagi
umat Islam.
Keberadaan
etika atau akhlak dalam Islam merupakan suatu hal yang sangat penting dan
fundamental dalam Islam, karena dengan akhlak yang baik manusia akan siap dalam
melaksanakan syari’at, mentaati perintah, dan mentaati peraturan-peraturan yang
wajib ditaati.
Dengan demikian,
berarti ada hubungan yang erat antara agama dengan akhlak atau etika Islam
karena akhlak merupakan bagian dari ajaran agama Islam dan sebagai penyempurna
bagi dasar agama Islam.
B. Kata Penutup
Puji syukur Al-Hamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini.
Penulis sangat menyadari, bahwa dalam penulisan ini banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan
masukan, kritik dan saran demi perbaikan makalah ini.
Harapan penulis semoga kata makalah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali, Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, penerj.
Muhammad Rifa’i, (Semarang: Wicaksana, 1993).
Aly, Hery Noer & S.
Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta, Friska Agung Insani, 2000).
Amin, Ah., Etika (Ilmu
Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1993).
An Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip
dan Metode Pendidikan Islam, Terjemah Rahman Astuti, (Bandung: Risalah,
1989).
Anshari, Endang Saifudin, Kuliah
Al Islam, (Jakarta: Rajawali,
1986).
Ar, Zahruddin, Hasanuddin
Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
As, Asmaran, Pengantar
Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1992).
As-Suyuthi, Jalaluddin
Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Jami'ush-Shaghir, (Surabaya: Al-Hidayah,
t.th.).
Ausop, Asep Zaenal, Modul Pendidikan Agama Islam di Institut
Teknologi Bandung Pembentukan Karakter (Character Building), (Bandung:
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, 2005).
Azzarmiji Muhammad bin Ahmad
Nabhan, Ta’limul Muta’alim, (Surabaya: Al-Hidayah, t.th.).
Bakri, Hasbullah,
Sistematik Filsafat, (Jakarta: Widjaya, 1992).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 2002).
Djamarah, Syaiful Bahri, Pola
Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Ilyas, Yunahar, Kuliah
Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2004).
Jatnika, Rachmat, Sistem
Etika Islami, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996).
Kahmad, Dadang, Metode Penelitian Agama, (Jakarta: Pustaka
Setia, 2000).
Khollaf, Abdul Wahab Khollaf, Tarikh
Tasyri’ Al-Islami, (Bairut: Dar Al-Fikr, t.th,).
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1999).
Mustafa, Akhlak dan
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003).
Poerwodarminto, WJS., Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002).
Razak, Nasruddin, Dienul Islam,
(Bandung: Al Maarif, 1993).
Salam, Burhanuddin, Etika
Individual Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000).
Sauri, Sofyan, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama
Islam, (Bandung: Alfabeta, 2004).
Soenarjo dkk, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Intermasa, 2002).
Tatapangarsa, Humaidi, Pengantar
Kuliah Akhlak, (Surabaya : Bina Ilmu, 1984).
[1] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1999), hal. 128.
[2] Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, (Jakarta: Pustaka
Setia, 2000), hal. 21.
[3] W.J.S. Poerwodarminto, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hal. 18.
[4] Endang Saifudin Anshari, MA, Kuliah
Al Islam, (Jakarta: Rajawali,
1986), hal. 33.
[5] Nasruddin Razak, Dienul
Islam, (Bandung: Al Maarif, 1993), hal. 18.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag
RI, 2002), hal.78.
[7] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan
Islam, Terjemah Rahman Astuti, (Bandung: Risalah, 1989 ), hal. 374-375.
[8] Asep Zaenal Ausop, Modul Pendidikan
Agama Islam di Institut Teknologi Bandung Pembentukan Karakter (Character
Building), (Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi
Bandung, 2005), hal. 24.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2003), hal.89.
[10] Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 3.
[11] Ah. Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), hal. 3.
[12] Hasbullah Bakri, Sistematik Filsafat, (Jakarta: Widjaya,
1992), hal. 70.
[13] Rachmat Jatnika, Sistem Etika Islami, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1996), hal. 218.
[14] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 1992), hal.7.
[15] Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 97.
[16] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian
dan Pengamalan Islam (LPPI), 2004), hal. 2.
[17] Zahruddin AR., Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8.
[18] Humaidi Tatapangarsa, Pengantar
Kuliah Akhlak, (Surabaya : Bina Ilmu, 1984), hal. 13.
[19] Ah. Amin, Op.Cit., hal.
62.
[20] Mustafa, Akhlak dan
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 12.
[21] Depag RI,Op.Cit, hal.960.
[22] Ibid., hal. 670.
[24] Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Al-Jami'ush-Shaghir,
(Surabaya: Al-Hidayah, t.th.), hal. 103.
[25] Sofyan Sauri, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Agama Islam, Bandung: Alfabeta, 2004, hal. 117.
[27] Depag RI, Op. Cit., hal.
427.
[28] Azzarmiji Muhammad bin Ahmad Nabhan, Ta’limul Muta’alim,
(Surabaya: Al-Hidayah, t.th.), hal. 33.
[29] Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal. 3.
[30] Depag RI, Op.Cit., hal. 214.
[31] Ibid, hal. 123.
[32] Jalaluddin Abdur Rohman bin
Abi Bakar As-Syuyuti, Op. Cit., hal. 148.
[33] Depag RI, Op. Cit., hal.
157.
[34] Ibid., hal. 846.
[35] Muhammad Al-Ghazali, Akhlak
Seorang Muslim, penerj. Muhammad Rifa’i, (Semarang: Wicaksana, 1993), hal.
10
[37] Hery Noer Aly & Munzier S, Watak Pendidikan Islam,
(Jakarta, Friska Agung Insani, 2000), hal. 89 – 92.
[38] Abdul Wahab Khollaf, Tarikh Tasyri’ Al-Islami, (Bairut: Dar
Al-Fikr, t.th,) hal. 27.
[39] Ibid, 27-28.