Oleh : Ahmad Maimun, S.Pd.I
Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Manajemen Pendidikan Islam STAIN Kudus
A. PENDAHULUAN
Islam
sebagai suatu tatanan beragama yang membahas tentang hubungan dengan Tuhan, manusia
dan alam memiliki sudut pandang yang sangat sempurnya, realistis dan dapat
diterima oleh siapapun. Pandangan Islam tentang Tuhan menggambarkan bagaimana
keagungan Sang Pencipta. Adanya keagungan itu menambah manusia semakin beriman
kepadaNya, semakin mengagungkanNya dan semakin mendekatkan diri kepadaNya.
Manusia nampak kecil jika dibandingkan dengan Allah yang menciptakan jagad raya
ini. Dalam Islam, konsep ketuhanan merupakan hal utama dan
paling awal yang harus diperbaiki karena itu merupakan pondasi yang menopang kehidupan
keislamannya nanti. Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh, karena kalau
tidak itu akan mengurangi hakikat keislaman seorang manusia. Dalam konsep Islam, tauhid atau pengesaan Tuhan mencapai
tingkatan tanzih (transedensi) dan tajrid (abstraksi) yang
tinggi, sehingga bahasa dan imajinasi pikiran tidak bisa memberikan batasan
yang sempurna mengenai esensi dan substansi zat ilahi.[1]
Manusia
adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt.
Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas
mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Alam semesta diciptakan untuk
manusia, untuk dipelajari dan ditaklukkan, terlebih manusia sebagai khalifah fil ardh bertugas untuk mengelola salah satu
bagian dari alam semesta yaitu bumi, dengan mempelajari bumi dan apa saja yang
ada di sekitarnya maka rahasia kebesaran Allah akan semakin terungkap.
Al-Qur’an
sudah jauh-jauh hari memberitahukan manusia bahwa terdapat bermacam kebesaran
Allah dalam setiap penciptaanNya, baik dalam penciptaan manusia, hewan,
tumbuhan dan semua yang ada di antara langit dan bumi, alam semesta yang begitu
luas dan kompleks dengan tatanan yang teratur dan rapi tanpa ada cacat
sedikitpun. Penciptaan alam adalah sebagai sarana dan prasarana bagi manusia
untuk beribadah kepada Tuhan. Ali Syari’ati menyebutkan
bahwa al-Qur’an menempatkan manusia dalam suatu tauhid di mana Tuhan, manusia
dan alam semesta menampilkan suatu harmoni yang penuh makna dan tujuan.[2]
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang
akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana konsep
Ketuhanan dalam Pemikiran Islam?
2.
Bagaimana
hakikat manusia dalam pandangan Islam?
3.
Bagaimana
hakikat alam dalam pandangan Islam?
C. PEMBAHASAN
1.
Konsep
Ketuhanan dalam Pemikiran Islam
Istilah
Tuhan mengalami berbagai bentuk sebutan terminology yang berbeda-beda. Ada yang
menyebut God, Yang Maha Kuasa, Murbaning Dumadi, Sang Hyang Widi dan lain sebagainya. Dalam
konteks Islam, istilah Tuhan dipahami sebagai Allah, yang berasal dari bahasa
Arab. Siapakah Allah? dan bagaimana wujudnya? menjadi pertanyaan dengan
landasan aqli yang ujung jawabannya tidak ada batas akhirnya. Dalam dalil naqli
pun tidak ditemukan adanya kejelasan tentang wujud nyata yang sebenarnya.[3]
Konsep
Islam sangat mendalam dalam mentauhidkan Tuhan dan dalam melepaskan dari segala
bentuk keserupaan dan kesamaan. Dengan prinsip tauhid ini, manhaj Islam
memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan semua paradigma yang ada di
dalam berbagai ajaran dan filsafat non Islam. Salah satu ciri mendasar dari
manhaj ini adalah ciri tauhid dan tanzihnya, yang kemudian akan menjadi
pembebas bagi manusia dari segala bentuk penghambaan terhadap selain Allah.[4]
Konsep
Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama. Dari konsep Tuhan
inilah, kemudian dijabarkan konsep-konsep lain dalam agama, baik konsep tentang
manusia, konsep tentang kenabian, konsep tentang wahyu, konsep tentang alam,
dan sebagainya. Karena itu, setiap berbicara tentang ”agama”, maka mau tidak
mau, yang pertama kali perlu dipahami adalah konsep Tuhannya.
Konsep
Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi
Tuhan dalam agama-agama lain. Konsep Tuhan dalam Islam adalah Allah yang maha
Esa, syahadat “Laa ilaaha illaallah” yang
berarti tidak ada sesembahan kecuali Allah.
Konsep inilah yang membedakan dengan agama-agama lain di bumi ini. Islam
dalam kitabnya mengatakan langsung bahwa Tuhan yang berhak untuk diagungkan dan
disembah itu hanyalah Allah saja, yang berarti meniadakan tuhan-tuhan selain
Allah.
Tuhan,
dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang
tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus
sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw. Dengan berdasarkan pada
sanad yang sampai pada Rasulullah
saw maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah
dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang
nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Umat Islam tidak
melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu
sudah dikenalkan langsung oleh Allah melalui al-Qur’an, dan diajarkan langsung
cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam
konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Zat YangMaha
Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan
nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, sehingga tidak memberikan
kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang
Islam adalah jelas, yakni Allah, yang Satu, tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.[5]
Ibrahim
Al-Baijuri mengatakan bahwa ‘Allah’ adalah ‘al-ismu
al-a’dham’. Allah juga merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun
yang memiliki nama itu selain Allah. Bahkan, sejumlah ulama menyatakan, bahwa
lafaz Allah adalah isim jamid, dan tidak memiliki akar kata. Kata Allah
bukan ‘musytaq’ (turunan dari kata
asal).[6]
Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "
La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" Syahadat Islam ini juga bersifat final dan
tidak mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah saw sampai hari kiamat. Kaum
Muslim di seluruh dunia dengan
latar menyebut dan mengucapkan nama Allah
dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan
yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'.
Keberadaan
Tuhan berada dalam persepsi sesuai dengan yang dipersepsikan. Dalam setiap
agama diajarkan tentang Tuhan sebagai suatu prinsip dasar ajaran agama. Apakah
masing-masing agama mempunyai Tuhan sendiri-sendiri. Dengan demikian, jika
masing-masing agama punya Tuhan sebagaimana banyaknya agama-agama maka akan terjadi
benturan antar Tuhan yang dipersepsikan terjadi adu argument antar Tuhan yang
paling benar. Islam memberi isyarat bahwa jika di dunia ini ada banyak Tuhan
pasti akan terjadi kerusakan di bumi dan di langit. Al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 22
menjelaskan; Sekiranya ada di langit dan
di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.
Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari pada apa yang mereka sifatkan.[7]
Tuhan
tidak bisa dikenal dan diketahui oleh manusia secara indrawi, kenyataan bahwa
Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid:”tidak ada yang hakiki selain Zat
Maha Hakiki”. Karena Tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar Zat Maha
Hakiki. Realitas Ilahi berada jauh di luar pemahaman realitas makhluk. Zat Maha
Mutlak tidak bisa dicakup oleh yang relatif.
Karena
Tuhan tidak bisa diketahui oleh siapapun, maka nabi Muhammad melarang orang-orang
beriman untuk memikirkan Tuhan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, beliau bersabda: “Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan
berpikir tentang Zat Allah”.[8]
Satu-satunya cara untuk mendekatkan kepada pemahaman yang lebih mendalam
mengenai konsep tauhid ini adalah dengan menafikan segala bentuk penyerupaan
dan penyamaan terhadapNya, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah QS.
Asy-Syuura ayat 11 yang artinya : “tidak ada sesuatu apapun yang serupa
denganNya. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”[9]
2.
Hakikat
manusia dalam pandangan Islam
Manusia
adalah salah satu makhluk yang paling sempurna di dalam penciptaannya dan memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Manusia
diberikan akal dan nafsu yang akan menentukan perjalanan hidup di dunia, akal
untuk membedakan mana yang benar dan yang salah dan nafsu keinginan untuk
berbuat baik dan jahat. Terlebih manusia diciptakan dengan maksud beribadah
kepada Allah dan bertugas sebagai khalifah di muka bumi ini.[10]
Manusia
dalam pandangan Islam adalah makhluk yang memiliki identitas istimewa. Ia bukan
malaikat, tetapi juga bukan syaitan. Ia dapat terjatuh sehingga berkualitas
seperti syaitan. Ia dengan keluhuran rohaniahnya juga dapat mencapai kualitas
kemalaikatan.[11]
Keterangan
asal usul manusia dalam pandangan ajaran Islam tentunya tidak lepas dari wahyu
yang terekam dalam al-Qur’an dan Hadis. Proses penciptaan manusia mengalami dua
tahap, yang pertama tahap pensabdaan (ucapan penciptaan) sebagai proses
produksi manusia, dan yang kedua adalah proses reproduksi manusia.
Pertama proses produksi, dalam
proses ini terlebih dahulu Allah menawarkan kepada makhluk yang terlebih dahulu
ada yaitu malaikat dan syaitan, ketika Allah hendak menciptakan makhluk yang
bernama manusia untuk dijadikan khalifah di muka bumi.[12]
Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa Adam adalah manusia yang pertama
diciptakan, proses penciptaan Adam diawali dengan sabda Tuhan dengan kekuatan
penciptaan dengan sabda “jadilah maka jadi”.[13]
Dalam
al-Qur’an tidak ada keterangan secara detail tentang penciptaan Adam dengan
cara genetik atau proses reproduksi manusia seperti lazimnya kita ketahui
sekarang. Keterangan ini menunjukkan adanya kekuasaan Tuhan di luar kemampuan
manusia dan makhlukNya.[14]
Sebelum
Allah menciptakan Adam, Allah sudah
menyiapkan sarana dan prasarana yang akan diperlukan Adam, yaitu langit dan
bumi beserta isinya, yang kemudian manusia diperintahkan menjadi “khalifah”
untuk mengatur, mengelola dan menjaga alam.
Kedua proses
reproduksi, dalam proses ini dapat dipahami sebagai proses penciptaan ulang
manusia setelah Adam. Setelah Tuhan menciptakan Adam, Ia menciptakan manusia
yang bernama Hawa yang berjenis perempuan sebagai pasangannya. Hawa mempunyai
peran sebagai pendamping Adam dan juga menjadi sarana untuk menempatkan benih
manusia dari Adam ke Hawa. Dari sinilah kemudian adanya manusia yang
direproduksi secara turun temurun. Al-Qur’an sesungguhnya memberikan keterangan
reproduksi manusia yang sangat mengesankan, inilah satu-satunya kitab suci
agama yang menjelaskan proses reproduksi manusia secara ilmiah. Dari air mani (nutfah), kemudian menjadi darah yang
menempel (‘alaqah), kemudian menjadi
daging (mudqah), kemudian menjadi
tulang belulang yang dibungkus dengan daging (lahm) dan pada tahap ini mulai dibentuk sesuai dengan perkembangan
selanjutnya.[15]
Tugas
hidup manusia adalah beribadah, melaksanakan perintah, dan mengabdikan diri
jiwa dan raga semata-mata hanya kepada Allah. “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.[16]
Ibadah dalam arti luas ialah setiap sikap, pandangan, ucapan dan perbuatan yang
betitik tolak ikhlas dan bertujuan vertikal mencari keridhaan Allah, dan
bertujuan horizontal untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, di samping itu juga
untuk menjadi rahmat bagi segenap manusia dan seluruh alam semesta di sekelilingnya.
Manusia
memiliki potensi (daya kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada
Allah. Seperti dijelaskan dalam al-Qur’an
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?”
mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.[17]
Dengan
pengakuan pada ayat di atas, sesungguhnya sejak awal, dari tempat asalnya
manusia telah mengakui Tuhan. Pengakuan dari penyaksian bahwa Allah adalah
Tuhan oleh ruh yang ditiupkan ke dalam rahim wanita yang sedang mengandung itu
berarti manusia mengakui pula kekuasaan Allah.
Fungsi
asasi manusia adalah khalifah Allah
di atas alam ini untuk menerjemahkan, menjabarkan dan membumikan sifat-sifat
Allah yang serba Maha itu dalam batas-batas kemanusiaan dalam dataran
kenyataan.
Manusia
dijadikan khalifah karena memiliki berberapa potensi. Agama dan sains
sama-sama mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang unik. Secara fisik
(jasmani) dan kejiwaan (ruhani) yang sama-sama mengakui bahwa manusia adalah
makhluk yang paling sempurna dan kompleks. Perbedaannya adalah agama mengakui
adanya kekuatan yang menghidupkan manusia yaitu ruh, sedangkan sains belum
dapat menjelaskan adanya dimensi ruh, bahkan tidak mempercayainya karena ruh
tidak dapat dijelaskan secara fisik.
Manusia
mempunyai akal dan isnting yang dengannya berbagai ilmu pengetahuan lahir dengan
melihat sesuatu yang nyata didukung beberapa ajaran agama, yang menjadikan
manusia memang pantas untuk mengatur dan mengelola serta menjaga bumi dan alam
ini.
Manusia
menempati posisi sentral dalam kehidupan. Sentralitas ini ditunjukkan ketika
Tuhan memilih mereka sebagai khalifahNya di bumi dan meniupkan ruhNya pada
manusia pada saat penciptaannya.[18]
Manusia yang berkualitas adalah mereka yang mampu menjalankan peranannya
sebagai khalifah Allah di bumi.[19]
3.
Hakikat
alam dalam pandangan Islam
Kata
alam berasal dari bahasa Arab ’alam (عالم )
yang seakar dengan ’ilmu (علم,
pengetahuan) dan alamat (مة علا,
pertanda). Ketiga istilah tersebut mempunyai korelasi makna. Alam sebagai
ciptaan Tuhan merupakan identitas yang penuh hikmah. Dengan memahami alam,
seseorang akan memperoleh pengetahuan. Dengan pengetahuan itu, orang akan
mengetahui tanda-tanda atau alamat akan adanya Tuhan. Dalam bahasa Yunani, alam
disebut dengan istilah cosmos yang berarti serasi, harmonis. Karena alam itu
diciptakan dalam keadaan teratur dan tidak kacau. Alam atau cosmos disebut
sebagai salah satu bukti keberadaaan Tuhan, yang tertuang dalam keterangan al-Qur’an
sebagai sumber pokok dan menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia.[20]
Dari
satu sisi, alam semesta dapat didefenisikan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun
dari maddah (materi) dan shurah (bentuk), yang dapat
diklasifikasikan ke dalam wujud konkrit (syahadah) dan wujud abstrak (ghaib).
Kemudian, dari sisi lain, alam semesta bisa juga dibagi ke dalam beberapa jenis,
seperti benda-benda padat (jamadat), tumbuh-tumbuhan (nabatat),
hewan (hayawanat), dan manusia.[21]
Alam
diciptakan Tuhan pada hakikatnya adalah untuk menjadi sarana dan prasarana
manusia untuk mencapai tujuan akhir. Manusia adalah makhluk yang dipercaya
Tuhan sebagai pemegang hak pengelola alam. Sarana alam ini dipergunakan manusia
untuk mengasah dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bersamaan
diciptakannya alam, manusia dapat
belajar dari fenomena alam sehingga memunculkan berbagai macam ilmu alam
(sains). Tuhan menciptakan alam mempunyai peran dan tujuan sebagai tanda
kebesaran kekuasaanNya. Dalam perspektif Islam, tujuan penciptaan alam semesta
pada dasarnya adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada pengetahuan dan
pembuktian tentang keberadaan dan kemahakuasaan Allah.
Keberadaaan
alam semesta merupakan petunjuk yang jelas tentang keberadaaan Allah. Oleh
karena itu dalam mempelajari alam semesta, manusia akan sampai pada pengetahuan
bahwa Allah adalah Zat yang menciptakan alam semesta.
Proses
penciptaan alam oleh Tuhan dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an walaupun
tidak ditemukan secara berurutan, namun disajikan dalam riwayat yang saling
sambung-menyambung yang berada dalam beberapa tempat dalam al-Qur’an yang
menunjukkan aspek-aspek tertentu dan memberikan perincian mengenai kejadian-kejadian
secara berurutan.
Islam
mengajak manusia untuk menggunakan kemampuan akalnya dalam menyikapi berbagai
kejadian alamiah di alam semesta. Apabila kita mengarahkan pandangan ke
lingkungan di sekeliling kita, niscaya
kita menemukan berbagai fenomena yang membuktikan keberadaan Sang Pencipta.
Islam menantang seluruh manusia untuk memikirkan itu semua hingga mereka dapat
menerima kebenaran tentang keberadaan Sang Khaliq.
Manusia
mengemban amanat dari Allah sebagai khalifah untuk mengelola bumi secara
bertanggungjawab. Peran penting yang diamanahkan kepada manusia adalah
memakmurkan bumi (al-‘imarah) dan memelihara bumi dari upaya-upaya
perusakan (ar-ri’ayah). Manusia mempunyai kewajiban kolektif untuk
mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia.
Melihara bumi termasuk memelihara aqidah dan akhlak manusianya, memelihara dari
kebiasaan jahiliyah (merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat)
karena sumber daya manusia yang rusak akan sangat potensial merusak alam.[22]
D. ANALISIS
Islam
terbukti memang agama yang sangat luas dan detail pembahasannya, Islam membahas
segala aspek kehidupan. Ketika Islam membahas tentang Tuhan maka nilai
kebesaran tuhanlah yang dimunculkan, dengan maksud bahwa manusia akan semakin
beriman dan tunduk patuh kepada-Nya. Ketika Islam berbicara tentang alam
semesta menunjukkan bagaimana rahasia Allah tentang penciptaan-penciptaan apa
yang ada di langit dan di bumi dan apa yang ada di antara keduanya, serta
ketika Islam berbicara tentang manusia maka manusia diperintahkan untuk belajar
dan memahami apa yang ada di sekitarnya. Sehingga nampaklah bahwa manusia
sesungguhnya makhluk yang lemah dan kecil, dengan menyadari hal itu dimaksudkan
manusia semakin mengagungkan sang penciptanya.
Allah menciptakan manusia di muka bumi agar manusia
dapat menjadi kalifah di muka bumi tersebut. Yang dimaksud dengan khalifah
ialah bahwa manusia diciptakan untuk menjadi penguasa yang mengatur apa-apa
yang ada di bumi, seperti tumbuhannya, hewannya, hutannya, airnya, sungainya,
gunungnya, lautnya, perikanannya dan seyogyanya manusia harus mampu
memanfaatkan segala apa yang ada di bumi untuk kemaslahatannya. Jika manusia
telah mampu menjalankan itu semuanya maka sunatullah yang menjadikan
manusia sebagai khalifah di bumi benar-benar dijalankan dengan baik oleh
manusia tersebut, terutama manusia yang beriman kepada Allah.
Surat Adz dzariyat ayat 56 mengandung makna bahwa
semua makhluk Allah, termasuk jin dan manusia diciptakan oleh Allah agar mereka
mau mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah. Jadi
selain fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi (fungsi horizontal),
manusia juga mempunya fungsi sebagai hamba yaitu menyembah penciptanya (fungsi
vertikal), dalam hal ini adalah menyembah Allah karena sesungguhnya Allahlah
yang menciptakan semua alam semesta ini.
Hubungan
antara Tuhan, manusia dan alam sangatlah erat. Tuhan sebagai Zat yang
menciptakan manusia. Manusia dan Alam sebagai makhluk yang diciptakan oleh
Tuhan. Jika peran Tuhan tidak ada, manusia dan alam tidak akan tercipta.
Hubungan manusia dengan Tuhan disebut pengabdian (ibadah). Pengabdian manusia
bukan untuk kepentingan Allah, Allah tidak berhajat (berkepentingan) kepada
siapa pun, pengabdian itu bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada asal
penciptanya yaitu fitrah (kesucian)nya.
Maka
dari itu manusia harus melihat kembali siapa dirinya. Jika manusia menyadari
akan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah swt, maka manusia akan selalu
bersyukur dan akan menjalankan fungsi dan tugas sebagai khalifah di muka
bumi ini dengan baik. Manusia akan benar-benar manjadi pemimpin di bumi ini dan
menjaga alam ini. Kita tidak akan merusak hutan, mencemari laut dan tidak akan
membuat polusi. Karena mausia sadar bahwa bumi ini sebagai ladang amal sebagai
bekal menuju kehidupan yang hakiki yaitu kehidupan akhirat, dengan cara menjaga
kelestarian alam ini.
Allah
sebagai Sang Pencipta yang menciptakan alam beserta isinya, lalu Allah
menciptakan makhluk yang bernama manusia sebagai pengurus bumi. Manusia akan
dimintai pertanggung jawabannya langsung kepada Allah tentang hasil dari
kepengurusannya. Barang siapa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah dan
menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya maka niscaya dia akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sedangkan sebaliknya siapa yang ingkar dan
tidak memperdulikan perintah Allah akan mendapat murka dan laknat Allah di dunia
maupun di akhirat. Dan alam ini akan menjadi saksi dihadapan Allah swt dan
tidak akan ada satu orang manusiapun yang bisa memungkiri perbuatannya selama
di dunia ini ketika tiba masanya hari perhitungan karena sesungguhnya Allah itu
Maha Mengetahui segala sesuatu.
E. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat kami
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Konsep Tuhan dalam Islam
adalah Allah yang maha Esa, syahadat “Laa
ilaaha illaallah” yang berarti tidak ada sesembahan kecuali Allah. Konsep inilah yang membedakan dengan
agama-agama lain di bumi ini.
2.
Dalam pandangan Islam, manusia
adalah salah satu makhluk yang paling sempurna di dalam penciptaannya dan
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang
lain. Manusia diberikan akal untuk membedakan mana yang benar dan yang salah
dan nafsu keinginan untuk berbuat baik dan jahat. Terlebih manusia diciptakan
dengan maksud beribadah kepada Allah dan bertugas sebagai khalifah di
muka bumi.
3.
Tuhan menciptakan alam
mempunyai tujuan sebagai tanda kebesaran kekuasaanNya. Dalam perspektif Islam,
tujuan penciptaan alam adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada
pengetahuan dan pembuktian tentang keberadaan dan kemahakuasaan Allah.
F.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
paparkan, kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik serta bimbingan dan arahan dari
teman-teman dan bapak dosen selalu kami harapkan. Dan akhirnya, kami hanya
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
G. DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut
tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama’, Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu`asyir, 1983.
Abul
Mudhaffar As-Sam’ani, Al-Intishar li Ashabil Hadis, Maktabah Syamilah.
Ahmad Ali Riyadi, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2010.
Ahmala
Arifin, Tafsir Pembebasan, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011.
Ali
Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya, terj.
Husin Anis Al-Habsyi, Bandung: Mizan, 1990.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1989.
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan
Islam, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008.
Djamaludin Darwis, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam,
Semarang: Pustaka Pelajar IAIN Walisongo, 1996.
Ibrahim
Al-Baijuri, Tuhfatul Murid, Semarang: Toha Putra, t.th.,.
Muhammad
Al-Buraey, Islam Landasan Alternatif, Jakarta: Rajawali, 1985.
Muhammad
Imaduddin, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta: Kuning Mas, 1999.
Muhammad
Imarah, Manhaj Islami, Jakarta: Al-Ghuraba, 2008.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
[1] Muhammad Imarah, Manhaj Islami, Jakarta: Al-Ghuraba, 2008,
hal. 3.
[2] Ali Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat
Lainnya, terj. Husin Anis Al-Habsyi, Bandung: Mizan, 1990, hal. 52.
[4] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 7.
[5] Al-Quran
Surat Al-Ikhlas, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama
RI, 1989, hal. 1118.
[6] Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid, Semarang: Toha Putra,
t.th., hal. 3.
[7] Al-Quran
Surat al-Anbiya’ ayat 22, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama RI, 1989, hal. 498.
[8] Abul Mudhaffar As-Sam’ani, Al-Intishar li Ashabil Hadis,
Maktabah Syamilah, hal. 9.
[9] Al-Quran
Surat Asy-Syuura ayat 11, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama RI, 1989, hal.784.
[10] Djamaludin
Darwis, Reformulasi Filsafat Pendidikan
Islam, Semarang: Pustaka Pelajar IAIN Walisongo, 1996, hal. 99.
[11] Muhammad Al-Buraey, Islam Landasan Alternatif, Jakarta:
Rajawali, 1985, hal. 111.
[12] Al-Quran
Surat al-Baqarah ayat 30, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama RI, 1989, hal. 13.
[13] Al-Quran
Surat Yaasin ayat 82, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama RI, 1989, hal. 714.
[15] Al-Quran
Surat al-Mukminun ayat 14, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Departemen Agama RI, 1989, hal. 527.
[16] Al-Quran
Surat Adz-Dzariyaat ayat 56, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1989, hal. 852.
[17] Al-Quran
Surat Al-A’raf ayat 172, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1989, hal. 250.
[18] Ahmala Arifin, Tafsir Pembebasan, Yogyakarta: Aura Pustaka,
2011, hal. 78.
[19] Muhammad Imaduddin, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta:
Kuning Mas, 1999, hal. 182.
[20] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992, hal. 289.
[22] Abdurrahman
An-Nahlawi, Ushulut tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati
wal mujtama’, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu`asyir, 1983, hlm. 52.